Rabu, April 15, 2009

Belajar dari Kesalahan Orang Lain

Another good artikel.
LayaK di Baca Ney.....



---------------------------------------------------------------------------------------
Salah satu premis buku-buku yang saya tulis adalah bagaimana mempermudah hidup seseorang hanya dengan membaca. Buku-buku how-to, bisnis, dan motivasi yang telah saya terbitkan, semua mempunyai premis yang tidak mengenal batas-batas budaya dan geografis.

Lantas, mengapa membaca? Karena, dengan membaca tulisan-tulisan yang bermuara dari pengalaman pribadi penulisnya, kita bisa mempelajari kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan mereka sehingga kita tidak perlu mengulanginya. Jelasnya, dengan membaca kita diberi kesempatan untuk test drive dengan simulator secara cuma-cuma, tanpa perlu mengalami kepahitan hidup seperti yang mereka alami. Cukup dengan menerima informasi dengan hati terbuka dan pikiran yang siap menyerapnya, kita mestinya sudah bisa belajar dari kesalahan orang lain.

Lantas, apakah hanya dengan membaca? Jelas tidak. Setiap saat indera kita bekerja, kita sedang belajar dari Universitas Kehidupan. Saya dan Anda, kita semua, dalam setiap detik mengalami pembelajaran baik secara sadar maupun tidak sadar. Apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan, adalah materi pembelajaran. Bagaimana kita memulung dan menggunakan hasil pulungan itulah yang menjadi bekal hidup di masa kini dan masa yang akan datang. Istilah memulung dari kehidupan ini saya pinjam dari Bung Andrias Harefa (terima kasih, istilah ini kena sekali).

Saya kenal banyak orang yang mengulangi kesalahan-kesalahan diri sendiri di masa lampau. Apalagi kesalahan-kesalahan orang lain.
Padahal, jelas-jelas hal-hal tersebut terjadi di depan matanya sendiri. Misalnya, menurut data statistik, seseorang yang mempunyai masa kecil kelabu—seperti seringnya dipukul oleh orangtua—kemungkinan besar ketika mempunyai anak sendiri pun akan menjadi orangtua yang gemar memukul. Seseorang yang mempunyai orangtua yang kawin cerai, kemungkinan besar akan menjadi seseorang yang gemar kawin cerai pula.

Apalagi ada kata mutiara yang berkata, "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Ini jelas merupakan suatu `indoktrinasi' yang terjadi secara tidak disengaja, namun diperkuat oleh kultur yang mengungkung.
Saya sendiri seringkali merasa terkungkung oleh nosi yang salah kaprah ini. Bahkan sampai hari ini, kadang-kadang masih timbul suatu keragu-raguan dalam bertindak hanya karena persepsi saya yang salah atas kehidupan dan di mana saya berdiri.

Sering kali, saya merasa `tidak berdaya' karena masa lalu dan kekhawatiran akan masa yang akan datang, yang sesungguhnya hanyalah berasal dari indoktrinasi masa lalu yang salah. (Istilah indoktrinasi di sini saya gunakan dalam konteks yang sangat relaks, yaitu bagaimana suatu proses penempatan konsep diri yang biasanya `salah kaprah' tertanam sedalam-dalamnya sehingga sulit digeser.) Beberapa tahun lalu, saya sangatlah memandang diri sendiri sebagai seseorang dengan latar belakang keluarga yang tidak begitu sempurna serta tidak punya banyak uang, sehingga saya merasa menjadi `diri yang cacat'.

Untungnya, dengan tempaan dan mengindoktrinasi diri saya kembali, saya belajar ulang dari kehidupan dan menghapus segala macam informasi yang membuat pikiran saya menjadi `cacat'. Ya, bukan saya yang cacat, namun pikiran saya.

Bagaimana saya belajar ulang atas buku kehidupan yang sudah separuh jalan ini (dengan asumi usia normal manusia 70 tahun)? Mudah saja.
Refleksi seperlunya dan lakukan secara pragmatis. Jangan libatkan perasaan. Kalau dilibatkan pun, usahakan seminimal mungkin.

Pertama: Setiap solusi pasti ada pemecahannya yang berasal dari pemikiran jernih saat itu juga. Jelas, pemecahan ini bukan berasal dari pemikiran njelimet tidak karu-karuan. Apalagi kalau dibumbui segala macam nasihat orang lain—yang mungkin pengalaman hidupnya getir dan pahit—sehingga saran-saran mereka malah mengungkung hasil akhir dan bukan memberikan solusi.

Karena itu diperlukan latihan memenggal-menggal permasalahan dan mengkotak-kotakkannya dalam ukuran yang kecil, sehingga bisa dicerna dengan mudah. Pilah-pilahkan masalah besar menjadi beberapa masalah kecil, lantas dengan visualisasi di dalam benak Anda, bayangkan Anda seorang raksasa yang sedang menghantam masalah-masalah kecil tersebut dalam satu kali sapuan bersih.

Pada saat itu juga masalah hendaknya dipecahkan. Jika tidak memungkinkan, tulis tindakan lanjutan yang sebenarnya sudah merupakan pemecahan masalah, namun hanya ditunda sampai waktu dan kesempatan yang tepat. Sesudah itu, jangan dipikir-pikirkan lagi sampai waktunya untuk diangkat kembali.

Kedua: Membandingkan masalah kita dengan masalah orang lain yang serupa. Dari pergaulan sehari-hari dan memperhatikan bagaimana anggota keluarga kita menjalankan kehidupan, kita bisa dengan mudah membandingkan suatu situasi yang kita alami dengan bagaimana cara mereka memecahkan masalah.

Tujuannya bukanlah untuk mengikuti cara mereka dalam memecahkan masalah. Namun, untuk melihat secara obyektif bagaimana suatu pemecahan masalah membawa dampak jangka panjang. Misalnya, seorang ibu yang suka memukul anaknya. Dalam benaknya sudah tertanam anggapan bahwa itulah cara terbaik dalam mendidik anak yang sedang bermasalah atau sedang nakal-nakalnya. Lantas, ketika si anak itu sudah mempunyai anak sendiri, cara itu pula yang ia gunakan untuk mendidik anaknya. Ini cara yang salah karena ia tidak melihat dampak jangka panjang dari memukul anak ini secara obyektif. Malah, ia mengulangi luka-luka lama.

Intinya, kita mesti dengan jeli melihat bagaimana orang lain bertindak, mengamati dampak dari perbuatan tersebut, dan mengambil sarinya untuk kepentingan kita sendiri, terutama dalam memecahkan masalah. Jika cara pemecahan masalah tersebut kelihatan overacting, seperti si ibu yang gemar memukul tadi, renungkan cara lain yang lebih kena tanpa menggunakan kekerasan.

Ciri-ciri pemecahan masalah yang salah pun perlu diidentifikasi. Apa saja ciri-cirinya? Antara lain adalah terlalu berlebihan, terlalu rumit, dan terlalu mementingkan pandangan sendiri tanpa melibatkan persepsi orang lain. Anda pasti bisa tambahkan lagi ciri-ciri lainnya apabila mampu melihat dengan obyektif dan saksama bagaimana orang- orang di sekeliling Anda memecahkan masalah.

Idealnya, suatu masalah dipecahkan dengan solusi yang berasal dari nurani, dari pemikiran yang obyektif serta jernih. Jangan memperpanjang dan memperumit masalah. Pilah-pilah masalah besar menjadi masalah-masalah liliput yang bisa diterjang dalam satu kali hempasan. Belajar dari kesalahan orang lain, jadikan itu menjadi bagian kita, namun pilih pemecahan yang terbaik dalam situasi kita sendiri.

Hidup itu simpel saja, kok! Ada banyak simulator `gratis' yang bisa memperkenalkan kita kepada begitu masalah yang belum kita alami. Test drive your life dengan menggunakan kesalahan orang lain sebagai bahan pembelajaran. Dan, itulah rahasia sukses saya dalam menghadapi setiap masalah.[]

Sumber: Belajar dari Kesalahan Orang Lain oleh Jennie S. Bev. Jennie S. Bev adalah entrepreneur, edukator, kontemplator, motivator dan pelaku seni digital (digital arts) berbasis di California Utara. Ia telah menerbitkan lebih dari 50 ebooks, sedang proses editing beberapa buku print, dan sedang proses produksi film pendek bersetting di Paris, Perancis. Ia bisa ditemui online di JennieSBev.com.








5 komentar:

  • Unknown mengatakan...

    artikel yang mengena sekali, tapi apa benar buah jatuh tak jauh dari pohonnya merupakan indoktrinasi di lingkungan yang justru mengungkung? bukankah ungkapan itu telah bisa dibenarkan secara ilmiah?

    blog menarik, ijin blogroll ya boz

    Cipzto mengatakan...

    nice
    :))

    dianfi mengatakan...

    @advintro : Wah Yang bener, masa c udh di buktikan secara ilmiah.....???
    @oM CiPto : ThX GaN :s

    syaHRul Khan mengatakan...

    mantep banget

    dianfi mengatakan...

    MaKacIh Archibal Khan Meizid Arif :x
    ney artikal inspiring bngt :))

  • Posting Komentar